PAK ARYAWAN terus leka tatap suratkhabar di tangan.
Sesekali mata kerling wanita di balkoni depan. Rancak bersembang sejak tadi di
talian. Teruja benar. Entah dengan siapa agaknya sedang berbual.
“Iya. Nanti mama sampaikan salamnya buat baba. Kamu jaga
diri baik-baik di sana, ya. Punya masalah, bilang terus ke mama.
Assalamualaikum.”
Talian dimatikan. Wanita itu terus duduk di sisi Pak
Aryawan. Bibir tak henti-henti menguntum senyuman.
“Rancak bualnya. Bicara sama siapa?”
“Aryan, mas.
“Aryan?”
“Iya. Dia lagi kirim salam buat mas.”
“Waalaikumussalam. Mau apa anak itu nelefon tiba-tiba?”
Ibu Dian terkejut. Senyumnya mati. Keningnya berkerut.
“Loh! Itu anak, kan? Anak mau nelefon sama orang tuanya,
apa salah?”
“Salah emang nggak salah. Tapi aneh.”
Sekali lagi dahi Ibu Dian berkerut. “Aneh? Aneh apaan,
sih?”
“Ya, anehlah. Selagi yang bikin itu namanya Aryan, emang
aneh segala. Jangankan
mau nelefon, mau titip pesan buat kita juga lagikan susah. Boleh dikira sama
jari ini!”
“Anak kita itu lagi sibuk, mas.”
“Sibuk apaan? Ke sana ke mari, ke sana ke mari lagi di
tempat orang.”
“Sekurang-kurangnya dia masih kirim khabar ke kita, kan.”
“Ermm… khabar yang setahun cuma dua tiga kali doang dari
dia. Itu untung kalau ada,” balas Pak Aryawan selamba. Mata masih terus melekat
di dada akhbar.
Ibu Dian kunci suara. Sedar mood sang suami sedikit berangin bila topik Aryan mula diutara.
Suasana ruang tamu jadi hening tiba-tiba. Hanya bunyi
dari layar kaca TV sebesar 60 inci menjamu telinga.
“Ada apa Aryan nelefon?”
Suara garau itu kedengaran semula. Spontan senyum Ibu
Dian kembali mekar.
“Katanya mau pulang, mas.”
“Kapan?”
“Bulan depan.”
“Kali ini berapa lama pulangnya?”
“Pulang terus.”
Bacaan Pak Aryawan tersekat. Wajah isterinya ditenung
tepat. “Pulang terus?”
“Ya, iya. Itu yang dibilang sama dia.”
“Anak mama itu lagi sihat apa nggak?”
“Hisy!” Ibu Dian tepuk peha suaminya. “Mas ngapain bilang
begitu, sih? Aryan itu lagi sihat walafiat, mas. Kok ditanya begitu!”
“Ya, iyalah. Anak kita itu selalunya punya macem-macem
alasan bila disuruh pulang. Apalagi kalau disuruh bantuin mas di kantor.
Katanya apa… mau merantaulah, mau cari pengalaman di tempat oranglah, mau hidup
berdikarilah. Nah sekarang... mau pulang terus tiba-tiba, setelah bertahun
nggak muncul depan kita. Apa mama nggak hairan?”
“Ya mama juga ikutan hairan, dong. Tapi Aryan itu kan
udah mau pulang. Makanya kita harus bersyukur. Ini yang kita doain selama ini,
bukan? Mau dia pulang terus. Sekarang ALLAH udah jawabin doa kita. Lagian, dia
itu ikutin cara siapa? Cara mas juga kan waktu muda-muda?”
Pak Aryawan
kerling Ibu Dian. Dia yang mahu meluah, dia pula yang terkena sekarang.
Memang waktu muda dulu dia juga suka mengembara. Asia,
Australia, Eropah, Afrika, Amerika. Benua mana yang tak dia jelajah? Tapi semua
itu demi mencari ilmu dan pengalaman. Buat meluaskan empayar syarikat warisan
keluarganya. Aryan?
Anak itu terlalu banyak tujuan. Lepas tamat belajar di
Manchester, terus mengembara ikut sukanya. Timur barat, selatan, utara. Ke
ceruk pedalaman sekalipun tidak mengapa. Asal dirinya puas dan bebas ke
mana-mana.
“Sekurang-kurangnya mas melakuin semua hal itu dulu demi
perusahaan kita,” betah Pak Aryawan.
“Iya. Mama tau. Dan mama yakin Aryan juga sedang melakukan
hal yang sama. Cuma caranya mungkin berbeda.”
“Berbeda gimana?”
Ibu Dian hela nafas. Ingatan terus menjauh teringatkan
anaknya.
“Aryan itu selalu bilang ke mama kalau dia bercita-cita
banget mau jadi seperti Ibnu Batutah. Kembara keliling dunia, kunjungi negara
orang, mengenal manusia yang bermacem budaya dan latar belakang. Cari ilmu,
cari pengalaman, bantu insan yang memerlukan. Kayak ‘Pengembara Muslim’
terbesar dan tersohor dunia itulah.
Mama pikir dia cuman gurau doang. Tapi nggak nyangka sih
dia benar-benar serius. Justeru bila dia punya kesempatan itu sekarang, makanya
sungguh-sungguh dia melakuin hal itu. Ya siapa tau saat pulang anak itu nanti,
dia bawain sesuatu yang lumayan. Bukan buat kita aja, malah buat kebaikan
semua. Apa mas nggak bangga anak kita punya impian seperti itu.”
“Mas nggak bilang apa-apa, kok.”
“Terus? Mas nggak suka anak kita itu pulang?”
“Ya, nggaklah. Masakan begitu. Mas cuman penasaran aja,
deh. Soalnya, bertahun dia itu menghilang, tiba-tiba sekarang mau pulang terus.
Siapapun pasti lagi terkejut. Asal mama tau, mas ini nggak peduli sama sekali
Aryan itu mau merantau ke penjuru dunia mana sekalipun. Yang penting adat sama
agamanya tetap terpelihara, cukup.”
“Iya. Mama juga doain yang sama, dong. Lagian anak kita
itu merantau buat melupain segala hal yang telah berlaku, mas. Apa mas lupa?”
Pak Aryawan terdiam. Bukan dia lupa. Cuma kepalanya yang
tak mahu ingat.
“Jam berapa penerbangannya tiba nanti? Hari apa?”
“Yang itu mama nggak tau, sih. Aryan nggak mau kasi tau.
Katanya mau bikin surprise. Tapi mama
lagi khawatir ini.”
“Khawatir kenapa,
sih?”
“Aryan itu kan baru pertama kali mau datang ke Malaysia.
Kalau sampeinya kapan kita nggak tau, gimana mas? Siapa yang mau jemputin dia
di airport sana? Terus kalau dia
sesat, gimana? Atau ikutan entah siapa-siapa. Atau mau culik dia barangkali. Waduh!
Gawat, sih!” Ibu Dian cuba luah risaunya. Namun terbantut bila gelak si suami
tiba-tiba bergema.
“Mas ngapain ini ketawa-ketawa? Mama lagi khawatir, tau
nggak!”
Pak Aryawan capai kopi panas atas meja. Dihirup minuman
itu perlahan-lahan. Habis itu dia kembali menatap akhbar.
“Mama usah mikir macem-macem, ah. Aryan itu kan udah
besar panjang. Terus mau jadi seperti apa... Ibnu Batutah mama bilang tadi,
kan? Setakat Malaysia ini dalam genggaman dia aja, deh! Emangnya dia juga
sering bikin surprise buat kita,
kan.”
“Itu mama tau.
Soalnya…,”
“Usah khawatir ah,
ma! Selagi yang bikin itu namanya Aryan, apapun dia bisa lakuin. Mau hilang
kek, mau sesat kek, culik kek, apa kek, anak itu pasti bakalan muncul depan
kita bila tiba harinya.”
Terpinga-pinga Ibu
Dian dengar ayat selamba dari suaminya.
***********
DAUN pintu ditolak. Buat semua yang ada dalam bilik itu
tersentak. Tengah sedap-sedap bersantai, tiba-tiba pula sosok itu masuk.
Menggelupur masing-masing bangun.
“Boss!”
Zen berjalan masuk.
Dengan diekori seorang gadis di belakang. Sampai di tengah-tengah bilik, dia
berhenti. Satu-persatu muka anak buahnya dipandang.
“Semua orang ada
kat sini?”
“Ada, boss!” Suara-suara dalam bilik itu sahut
serentak.
“Bagus. Untuk kejayaan
misi kita semalam, well done! Jadi
sebagai ganjaran, I bagi semua orang rehat sampai hujung minggu. Pergi mana you
all nak pergi. Enjoy puas-puas!”
Sorakan bergema.
Masing-masing teruja. Bukan senang boss
nak bagi ‘cuti’. Tapi hari ini mood
dia lain macam sikit.
“Tapi…”
Spontan semua
kembali diam.
“… ada tugas besar
menanti selepas ni.”
Mata Zen cari orang kanannya. Gambar yang sejak tadi
dalam pegangan, dilayangkan ke atas meja. Betul-betul depan lelaki itu.
Hunter pandang
ketuanya. Kemudian gambar tersebut. Sekeping gambar lelaki yang tak dikenali
menjamah mata.
“Siapa?”
“Next mission.”
Kening kiri Hunter
terangkat. Masih tak faham.
“Anak hartawan terkenal Indonesia. The top ten richest
person in the world.”
Gambar itu dicapai.
Direnung dari atas ke bawah. Gambar kandid yang diambil tanpa sedar si empunya
badan.
Boleh tahan kacak. Penampilannya usah cakap. Segak walau
ringkas. Sesuailah dengan status sebagai anak hartawan.
“Boss nak buat apa dengan dia?” soal
Hunter.
“Macam biasa.”
“Sampai ke
Indonesia?”
Zen senyum senang.
Tiada balasan. Hanya sinar mata menzahirkan apa yang tersirat di benaknya
sekarang.
No comments:
Post a Comment